5 Pandangan Salah tentang Asuransi yang Membahayakan Kesehatan Keuangan

0
2701
keuangan

Apakah Anda sudah memiliki asuransi bagi pribadi atau keluarga? Bila memang sudah, Anda boleh senang. Karena kenyataannya, belum banyak masyarakat Indonesia yang menyadari pentingnya asuransi. Harus diakui, bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, berasuransi sejauh ini masih menjadi hal yang asing dan tidak terlalu dikenal.

Data dari Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) menyebutkan, sampai akhir kuartal IV-2017 lalu, jumlah tertanggung industri asuransi jiwa di Indonesia baru mencapai 65,53 juta orang. Bila dibandingkan dengan total jumlah penduduk Indonesia yang sudah lebih dari seperempat miliar jiwa, angka itu tak sampai 7,5%.

Masih kecilnya jumlah orang Indonesia yang tersentuh asuransi tidak terlepas dari tingkat literasi asuransi yang juga masih rendah. Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang dikutip oleh Katadata (Juni 2018) mengungkapkan, indeks literasi asuransi di Indonesia baru mencapai 15,8%. Artinya, dari 100 orang Indonesia, baru 15-16 orang saja yang memahami lembaga jasa keuangan asuransi. Adapun tingkat utilitas asuransi baru di angka 12,1% yang berarti dari 100 orang di Indonesia baru 12 orang yang menggunakan asuransi.

Baca juga: Yakin Tak Butuh Asuransi Jiwa?

Menurut OJK ada beberapa hal penyebab mengapa kesadaran berasuransi masyarakat Indonesia masih tergolong rendah. Pertama, pendapatan per kapita masyarakat masih rendah sehingga kebutuhan asuransi belum dilihat sebagai kebutuhan pokok. Kedua, edukasi dan sosialisasi yang masih rendah. Ketiga, tingkat pendidikan masyarakat juga masih rendah.

Asuransi dan mimpi kemerdekaan finansial

Anda pasti pernah mendengar tentang cerita sedih tentang seseorang yang terkuras harta bendanya akibat menanggung penyakit,bukan? Biaya berobat saat ini memang mahal. Mengutip data World Health Organization (WHO) seperti dikutip Kompas (February 2017), dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, kenaikan biaya berobat di Indonesia mencapai 36% per tahun!

Mahalnya biaya berobat di negeri ini tak ayal sering melahirkan banyak kisah orang jatuh bangkrut karena sakit. Bukan tidak mungkin seseorang yang sudah bekerja keras seumur hidupnya dan ingin meraih kemerdekaan finansial jelang masa pensiun, justru terantuk masalah kesehatan dan harta bendanya terkuras untuk berobat.

Biaya berobat yang mahal itu sebenarnya bisa Anda antisipasi dengan berbagai cara. Misalnya, membiasakan gaya hidup sehat, mengurangi stres, juga rutin memeriksakan kesehatan setiap periode tertentu.

Adapun cara mengelola dampak finansial yang ditimbulkan oleh risiko kesehatan adalah melalui asuransi. Berasuransi berarti, Anda mengalihkan risiko finansial kepada pihak ketiga, yaitu perusahaan penyedia produk asuransi. Jadi, ketika suatu saat Anda sakit dan memerlukan biaya pengobatan, asuransilah yang menanggung biaya tersebut.

Dengan memiliki asuransi, keuangan pribadi Anda bisa menghindari guncangan akibat biaya berobat. Alhasil, tujuan keuangan pribadi dalam rangka mewujudkan kemerdekaan finansial tidak perlu terganggu karena biaya berobat atau risiko lainnya sudah ditanggung asuransi.

Pandangan kaprah tentang asuransi

Nah, bila manfaat asuransi sebenarnya cukup ampuh dalam mendukung pengelolaan keuangan yang sehat, mengapa masih banyak orang Indonesia yang tak tergerak untuk berasuransi? Selain beberapa sebab yang sudah dilansir di atas, penyebab lain adalah masih banyak masyarakat yang memiliki pandangan keliru seputar asuransi.

Berikut ini 5 pandangan salah tentang asuransi yang banyak diamini oleh masyarakat Indonesia:

1. Membuang uang percuma

Masih banyak kalangan yang beranggapan bahwa membeli produk asuransi sama saja membuang percuma. Pandangan ini kurang tepat. Bila Anda membeli asuransi itu berarti Anda mengalihkan risiko keuangan yang Anda tanggung kepada perusahaan asuransi.

Apa saja risiko keuangan yang bisa Anda alihkan? Banyak. Mulai dari risiko keuangan akibat kejadian meninggal dunia, sakit, kecelakaan, belum lagi asuransi kerugian seperti asuransi rumah, asuransi mobil dan lain-lain.

Dengan membeli asuransi, risiko-risiko keuangan yang Anda tanggung akibat kejadian-kejadian tersebut beralih ke perusahaan asuransi. Sehingga, saat Anda sakit, asuransilah yang akan membayar biaya pengobatan. Begitu juga saat mobil Anda rusak atau hilang, asuransilah yang akan mengganti mobil atau membiayai perbaikan mobil Anda, dan lain-lain.

2. Menganggap asuransi sebagai investasi

Kesalahan umum kedua adalah, menganggap asuransi sebagai investasi yang akan memberikan keuntungan seperti produk investasi. Padahal, asuransi bukanlah produk investasi. Dalam pencatatan keuangan, asuransi termasuk dalam kolom biaya. Anda memang mengalihkan risiko keuangan pada perusahaan asuransi. Namun, itu bukan berarti Anda akan mendapatkan keuntungan sebagaimana keuntungan saat memutar uang di produk investasi.

Kesalahan pandangan ini juga yang akhirnya menyebabkan banyak orang salah membeli produk asuransi. Misalnya, membeli asuransi yang juga memberikan nilai tunai karena enggan uang preminya “hilang” begitu saja. Padahal, belum tentu produk asuransi hibrida seperti itu cocok dengan kebutuhannya.

Belilah asuransi yang bisa menutup kebutuhan Anda dengan efisien. Bila ingin berinvestasi, lakukan secara terpisah di produk investasi seperti reksadana, saham, emas, obligasi ataupun properti.

3. Punya penghasilan otomatis harus berasuransi?

Pandangan ini juga kurang tepat terutama bila menyoal asuransi jiwa. Tidak semua orang yang sudah memiliki penghasilan, perlu membeli asuransi jiwa. Asuransi baru diperlukan ketika sesuatu atau seseorang memiliki nilai finansial. Misalnya, Anda menikah dan menanggung kehidupan istri dan anak. Ada risiko finansial apabila suatu waktu Anda, sebagai pencari nafkah, meninggal dunia. Maka itu, Anda membutuhkan asuransi jiwa untuk mengelola risiko finansial tersebut.

Sebaliknya, Anda sudah memiliki penghasilan tetapi tidak menanggung hidup siapapun karena masih lajang, Anda belum perlu asuransi jiwa. Akan tetapi, Anda pasti membutuhkan asuransi kesehatan karena sakit dan kebutuhan berobat tidak mengenal status pernikahan.

4. Salah mengasuransikan diri

Apakah orangtua yang sudah tidak produktif bekerja dan tidak menanggung hidup anak-anaknya perlu memiliki asuransi jiwa? Sebenarnya tidak perlu. Seseorang dengan profil seperti itu mungkin lebih membutuhkan asuransi kesehatan atau asuransi long term care atau perawatan usia lanjut. Asuransi jiwa justru dibutuhkan oleh sang anak yang saat ini berperan sebagai penanggung hidup si orangtua tersebut.

Banyak orang salah mengasuransikan diri sehingga terjebak membeli produk yang kurang tepat. Orangtua yang sudah tidak produktif dan anak yang belum memiliki nilai ekonomis tidak perlu memiliki asuransi jiwa. Tapi, sangat mungkin mereka membutuhkan asuransi kesehatan. Jadi, jangan sampai salah mengasuransikan diri, ya.

5. Salah prioritas asuransi

Semua yang bernilai ekonomis sebenarnya membutuhkan asuransi. Namun, bila anggaran Anda terbatas, ada baiknya Anda membuat prioritas asuransi mana yang lebih mendesak untuk dibeli. Alokasikan minimal 10% dari penghasilan bulanan atau tahunan Anda untuk kebutuhan asuransi. Mulailah dari mengasuransikan yang akan berdampak finansial terbesar bagi keuangan pribadi Anda. Misalnya, asuransi jiwa, asuransi kesehatan, asuransi kerugian harta benda.

Baca juga: Asuransi untuk Lajang

Nah, sudah siap berasuransi?